Kupat Jembut: Tradisi dan Simbol Kesederhanaan di Semarang
Lentera Cakrawala - Kupat jembut, sebuah makanan khas Semarang yang hanya muncul saat Idul Fitri, memiliki makna mendalam dalam tradisi masyarakat setempat. Berbeda dengan ketupat lebaran pada umumnya, kupat jembut memiliki rasa yang kuat karena sudah diberi bumbu saat pengolahan. Nama “jembut” sendiri berasal dari isiannya yang berupa tauge yang meluber keluar dari bungkus ketupat, memberikan kesan unik dan menggugah selera.
Tradisi memakan kupat jembut ini telah ada sejak tahun 1950-an, dimulai oleh warga asli Kampung Jaten Cilik yang kembali ke kampungnya pasca mengungsi akibat perang dunia kedua. Isian sederhana ketupat ini, terdiri dari tauge, kelapa, dan Lombok, menjadi simbol kesederhanaan dan kekayaan akan tradisi. Anak-anak dari kampung tersebut turut serta dalam tradisi ini, menerima kupat jembut dan uang fitrah sebagai bagian dari warisan budaya yang harus dilestarikan.
Meskipun nama “kupat jembut” terdengar vulgar bagi sebagian orang, namun di Kampung Jaten Cilik lebih sering disebut sebagai “kupat tauge” karena nuansa religius yang lebih dijunjung tinggi. Tradisi memakan kupat tauge juga tidak hanya terbatas pada Kampung Jaten Cilik, tetapi juga dilakukan oleh masyarakat di sejumlah titik di Kelurahan Pedurungan Tengah, termasuk daerah Sendangguwo di sisi timur kota Semarang.
Dengan nilai-nilai kesederhanaan, kebersamaan, dan warisan budaya yang terjalin erat dalam tradisi memakan kupat jembut atau tauge, masyarakat Semarang menjaga keberlangsungan tradisi ini sebagai bagian penting dari identitas lokal mereka. Tradisi ini bukan hanya sekadar ritual, tetapi juga simbol kebersamaan dan kearifan lokal yang patut dilestarikan untuk generasi mendatang. (471/RA)