Senin, 23 Desember 2024
ad

Widji Thukul dan Ketakutan Penguasa

Penilaian: 5 / 5

Aktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan Bintang
 

Lentera Cakrawala - Lelaki ceking itu telah di musnahkan, tetapi kata-katanya masih terus beterbangan. Puisi-puisinya masih terus dibacakan di dunia kampus dan teriakan kata lawan masih terus didengunkan di jalanan. ”kebenaran akan terus hidup sekalipun kau lenyapkan” itu adalah salah satu penggalan puisinya.

Kebenaran di negeri ini telah menjadi barang mahal yang tak semua orang memilikinya. Seakan kebenaran adalah sebuah momok yang menakutkan. Kejujuran yang katanya adalah mata uang yang berlaku dimana-mana seakan hanya semboyan belaka. Tidak semua orang bisa jujur dan tidak semua orang pun suka berbohong.

Widji Thukul, (lahir 26 Agustus 1963) yang bernama asli Widji Widodo adalah penyair dan aktivis hak asasi manusia berkebangsaan Indonesia. Ia sangat keras menyuarakan kebenaran, mengutuk penindasan yang dilakukan oleh orde baru. Puisi-puisinya beterbangan di udara, menghinggapi kuping-kuping kebengisan para penguasa. Thukul hanya bersekolah sampai tingkat SMA, dengan alasan kesulitan keuangan ia memutuskan untuk berhenti. Lalu ia aktif menyelenggarakan kegiatan teater dan melukis dengan anak-anak kampung Jagalan, tempat ia dan anak istrinya tinggal. Pada 1994, terjadi aksi petani di Ngawi, Jawa Timur. Thukul yang memimpin massa dan melakukan orasi ditangkap serta dipukuli militer. Pada 1992 ia ikut demonstrasi memprotes pencemaran lingkungan oleh pabrik tekstil PT Sariwarna Asli Solo. Tahun-tahun berikutnya Thukul aktif di Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker) sebagai ketua.

Mata kanan lelaki itu telah terluka, terkena poporan senapan kala memimpin demonstrasi PT Sritex tahun 1995. Hanya karena mulut cadelnya itu penguasa menjadi takut. Dia lelaki berani, tak pernah gentar selama itu berbicara kebenaran. Seperti sajak yang ia tulis untuk anak-anaknya: Kalau teman-temanmu tanya Kenapa bapakmu dicari-cari polisi Jawab saja:“karena bapakku orang berani”

Sekitar bulan maret_april 1998 jejaknya tak lagi diketahui. Tubuh kurusnya sudah tak lagi terlihat seakan tenggelam dalam semesta, hilang tak tentu rimba hingga hari ini. Setelah peristiwa 27 juli 1996, jelang kejatuhan soeharto tahun 1998, Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang menjadi naungan lelaki itu dibubarkan dan sejumlah aktivis ditangkap, dibawa jalan-jalan dan tak pernah diantar pulang lagi.

Ya…lelaki ceking itu telah mati, tetapi semangatnya tak ikut mati. Semangatnya ikut hidup di puisi-puisi yang dia tulis. Semangat itu merasuk kepada orang-orang yang selalu memperjuangkan kebenaran.

Kini perjuangannya dilanjutkan oleh kedua anaknya, Fajar merah yang kerap menyuarakan puisi-puisinya lewat lagu gubahanyya serta Fitri nganthi warni yang mengikut jejak ayahnya sebagai seorang penulis puisi.

Ya…lelaki itu telah mati seiring berlalunya kuasa yang sudah melupa. Tetapi, dia tetap ada dan berlipat ganda, dia yang mendobrak pintu kebebasan berbicara setelah sekian lama dirantai oleh tangan otoriter. Kata-katanya adalah bara api yang tak akan pernah padam. Seperti namanya WIJI THUKUL artinya biji yang tumbuh. Tetap tumbuh subur, bermekaran dan menghiasi semesta. Panjang Umur Kebenaran.

Penulis: Harsandi Pratama Putra

Bagikan berita ini: