Prostitusi Anak Masih Tetap Ada dan Berlipat Ganda
Lentera Cakrawala - Pada sebuah lobi penginapan, aku melihat perempuan yang masih berumur belasan tahun sedang menjemput tamunya menuju kamar tempat iya menginap. Setelah transaksi melalui sebuah aplikasi media sosial MiChat , perempuan yang mungkin masih duduk di bangku SMA itu bergegas menuju pintu depan dengan memakai tanktop dan celana diatas lutut. Ia menemui seorang lelaki buncit dengan muka keras seperti kayu. Mereka berjalan menuju kamar tempat ia menerima para laki-laki yang menggunakan jasanya untuk menuntaskan birahi mereka.
Gerombolan anak itu datang ke penginapan, dengan perempuan berjumlah 4 orang dan laki-laki sebanyak 5 orang. Mereka membawa sebuah tas yang isinya adalah pakaian dan alat makeup. Rata-rata umur mereka sebaya, kisaran antara 17-18 tahun. Setelah melakukan reservasi di meja resepsionis, mereka lalu menuju lantai tiga mengambil kamar yang paling pojok.
Para laki-laki bertugas sebagai mucikari, menawarkan teman perempuan mereka melalu aplikasi Michat dengan tarif 200-400 ribu. Ponsel-ponsel mereka seakan menjadi kantor tempat mereka menghasilkan uang. Setiap saat mereka selalu siap membalas setiap pesan dari para laki-laki hidung belang yang ingin menggunakan jasa mereka.
Aktivitas prostitusi di bawah umur masih menjadi persoalan di Indonesia. Para pekerja seks komersial ini yang kisaran umurnya berada diantara 15-20 tahun tetap ada dan terus bertambah. Banyaknya kasus eksploitasi anak baik atas kemauan sendiri maupun tanpa sadar telah menjadi penyakit yang seakan sulit untuk di sembuhkan. Mereka terus menjamur dan tersebar di kota-kota Indonesia.
Ada beberapa faktor yang menjadi alasan sehingga memotivasi tumbuhnya pelacuran pada perempuan. Motivasi ini menjadi latar belakang dari praktek prostitusi yang di lakukan. Menurut Bagong Suyanto (2014), anak-anak perempuan yang terjerumus masuk dalam bisnis prostitusi biasanya di paksa oleh tiga faktor utama. Pertama, anak perempuan menjadi pelacur karena alasan struktural, misalnya kemiskinan dan kurangnya akses ke pekerjaan. Kedua, anak perempuan menjadi pelacur karena menjadi korban penipuan, akibat keluarga yang broken home, atau adanya kekecawaan atas hubungan percintaan yang gagal. Ketiga, anak perempuan menjadi pelacur karena gaya hidup.
Anak-anak ini seharusnya menikmati masa muda mereka dengan bersekolah dan bercengkraman dengan keluarga di rumah. Bukannya keluar masuk dari setiap pintu penginapan/hotel untuk menjajakan diri sendiri. Bahkan dengan bangganya mereka mengatakan bahwa tujuan mereka datang ke tempat ini yaitu untuk mencari uang.
Penulis: Harsandi Pratama Putra