Kurangnya Demokrasi di UIN: Akibat Sistem Pemilihan Keterwakilan
Lentera Cakrawala - Sadar atau tidak, pemilihan dalam organisasi kemahasiswaan di Universitas Islam Negeri (UIN) bukanlah Pemilu Raya yang melibatkan seluruh mahasiswa, seperti yang lazim ditemui di kampus-kampus terkemuka lainnya di Indonesia, seperti Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Padjadjaran (UNPAD), dan lain sebagainya. Sebaliknya, pemilihan di UIN dilakukan melalui sistem keterwakilan. Sistem ini ditentukan oleh Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 4961 Tahun 2016 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI).
Pertanyaannya adalah, apakah sistem keterwakilan ini benar-benar mencerminkan demokrasi yang seharusnya? Jika dibandingkan dengan Pemilu Raya yang diadakan di banyak universitas besar, sistem keterwakilan di UIN tampak kurang demokratis. Dalam Pemilu Raya, setiap mahasiswa memiliki hak suara yang setara untuk memilih pemimpin mereka, memastikan bahwa hasil pemilihan mencerminkan kehendak mayoritas. Namun, dalam sistem keterwakilan di UIN, hanya segelintir wakil yang dipilih dari jurusan atau program studi yang berhak menentukan kepemimpinan organisasi mahasiswa. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan: Apakah ini bentuk demokrasi yang ideal?
Teori hukum yang relevan dalam konteks ini adalah teori kedaulatan rakyat, yang menekankan bahwa kekuasaan harus berasal dari dan dijalankan oleh rakyat secara langsung. John Locke, dalam teorinya mengenai kontrak sosial, berpendapat bahwa pemerintahan yang sah harus dibangun atas persetujuan yang luas dari mereka yang diperintah. Dengan kata lain, setiap individu yang berada di bawah pemerintahan tersebut harus memiliki hak suara dalam proses pengambilan keputusan. Sistem keterwakilan di UIN, yang hanya melibatkan segelintir wakil dalam pemilihan, bertentangan dengan prinsip ini.
Selain itu, konsep demokrasi langsung yang diajukan oleh Jean-Jacques Rousseau menyatakan bahwa kehendak umum harus dicapai melalui partisipasi aktif dan langsung dari seluruh anggota masyarakat, dalam hal ini, seluruh mahasiswa. Sistem keterwakilan, yang lebih mengutamakan keputusan dari sekelompok kecil wakil, berpotensi mengabaikan kehendak mayoritas dan tidak memberikan kesempatan bagi seluruh mahasiswa untuk berpartisipasi secara langsung dalam proses demokrasi.
Akibatnya, sistem keterwakilan ini sering kali tidak merepresentasikan suara dan aspirasi mahasiswa secara keseluruhan. Banyak mahasiswa yang merasa terpinggirkan karena suara mereka tidak terdengar atau tidak diperhitungkan dalam pemilihan. Ini berujung pada kurangnya legitimasi bagi para pemimpin mahasiswa yang terpilih, yang seharusnya menjadi representasi dari keseluruhan populasi mahasiswa.
Kesimpulannya, sistem pemilihan keterwakilan di UIN, yang diatur oleh regulasi Dirjen, menciptakan sebuah demokrasi yang terbatas. Ketidakmampuan sistem ini untuk merepresentasikan seluruh mahasiswa secara adil dan merata menjadi masalah utama yang harus segera diselesaikan. Jika kita ingin membangun sebuah demokrasi yang sejati di kampus, maka sudah saatnya UIN mempertimbangkan untuk beralih ke sistem Pemilu Raya yang lebih inklusif dan representatif, sebagaimana yang telah diterapkan di kampus-kampus terkemuka lainnya. Hanya dengan demikian, aspirasi seluruh mahasiswa dapat terwakili secara adil dalam proses pemilihan.
By : F.I. Margolang