Filosofi dan Makna Tradisi Lebaran Ketupat dalam Budaya Jawa
Lentera Cakrawala - Tradisi lebaran ketupat merupakan salah satu warisan budaya yang sangat penting bagi masyarakat Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Tradisi ini dilaksanakan sebagai simbol kebersamaan dan kerukunan antar sesama umat Muslim. Dilansir dari Lenteracakrawala.com, sejarah lebaran ketupat erat kaitannya dengan Sunan Kalijaga, salah satu Wali Songo yang memperkenalkan ketupat kepada masyarakat Jawa.
Ketupat, bungkus dari janur kuning dengan bentuk segi empat, memiliki makna filosofis yang dalam. Bungkus ketupat melambangkan penolak bala dan prinsip “kiblat papat lima pancer,” mengingatkan manusia akan kembali kepada Allah. Selain itu, anyaman bungkus ketupat juga diartikan sebagai simbol kesalahan manusia, sedangkan warna putih ketupat mencerminkan kesucian setelah memohon ampun.
Isi ketupat yang berupa beras diharapkan menjadi lambang kemakmuran setelah hari raya. Dulu, terdapat tradisi unik yang berbau mistis terkait dengan ketupat, namun kini sudah jarang ditemui. Ketupat juga dipercayai sebagai penolak bala, yang sering digantungkan di pintu rumah bersama pisang untuk menjaga keluarga dari marabahaya.
Selain itu, ketupat biasanya disajikan bersama opor ayam dan sambal goreng. Opor ayam dan sambal goreng juga memiliki makna filosofis tersendiri dalam tradisi lebaran ketupat. Semua elemen dalam hidangan tersebut mengandung pesan moral dan spiritual yang mendalam bagi masyarakat Jawa.
Dengan demikian, tradisi lebaran ketupat bukan sekadar ritual makanan, tetapi juga sarat dengan nilai-nilai keagamaan, kesucian, dan kerukunan sosial. Melalui makna filosofis yang terkandung dalam setiap aspek tradisi ini, masyarakat Jawa dapat merayakan Idul Fitri dengan penuh keikhlasan dan keberkahan. (471/RA)